Wednesday, December 7, 2011

Ini Bahayanya Sikap 4LaY Pada Orang Dewasa

Kendati awalnya terasa lucu, fenomena alay belakangan cenderung mengkhawatirkan.
4L@Y, apa sih? Istilah yang satu ini bukan tiba-tiba saja muncul. Alay kependekan dari anak layangan. Tapi
dalam perkembangannya, terutama di ranah internet--sebut saja jejaring sosial, ciri-ciri seseorang disebut alay sudah makin melebar.

Namun pada intinya sih sama, alay ditujukan bagi mereka yang dianggap kampungan, norak, dan lebay. Tapi juga meluas pada cara berpakaian, sampai cara menulis yang ajaib seperti 4L@Y tadi.

Selama ini alay nyaris identik dengan para remaja alias ABG. Tapi tidak salah jika kenyataannya “nilai-nilai alay” malah menular ke orang-orang dewasa.

Waspadai ke-alay-an yang tidak kunjung hilang
Anggia menyebutkan, perilaku selalu ikut-ikutan dan labil akan terasa “normal” kalau terjadi pada mereka yang masih ABG (usia 12-18 tahun). Itulah fase pembentukan jati diri, membuat orang-orang di fase itu banyak berkiblat kepada orang lain yang dianggap trendsetter.

“Namun faktanya, banyak orang dewasa (dari segi usia) bahkan tua masih menjadi 'anggota' alay. Nah, alay yang seperti ini tidak lagi 'lucu'. Tapi sudah menjadi perilaku yang menetap dan mendasar, sebagaimana halnya kepribadian,” beber Anggia.

Tentu saja ini -- alay pada orang dewasa -- berbahaya. Karena orientasinya terfokus pada kelompoknya, geng, teman main, atau peer group (kelompok kecil). Sadar atau tidak, tertulis atau tidak, yang satu ke sana, semua ke sana. Yang satu bilang ini, semua bilang ini. Yang satu potong rambut model ini, lainnya potong begitu juga. Dan lain-lain.

“Sekali lagi, ini menjadi 'lucu' selama dilakukan para ABG. Bagi orang dewasa, ini menjadi bahaya laten yang pada awalnya tidak terasa,” ujar Anggia.

“Ketika dukungan dari grup hilang, memudar (entah karena waktu atau perpecahan dalam grup itu sendiri), alay yang telah menjadi kepribadian bisa terguncang, hilang arah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya bisa macam-macam, seperti rasa sedih, marah, kecewa, takut. Dan tingkatannya berbeda-beda tergantung sejauh mana dia 'menerapkan' alay. Kalau masih level rendah, sedih dan marahnya akan biasa-biasa saja. Tapi jika alay tersebut telah melekat sebagai jati diri, efeknya bisa parah atau bahkan sampai pada keputusasaan,” papar Anggia.

Bagi orang-orang dengan perilaku ikut-ikutan, dukungan dari kelompok sangat berarti dan berpengaruh. Dia ada, dia bisa, dia berani, karena ada kelompok kecilnya tersebut.
“Anggaplah tidak ada kelompok. Alay tipe tertentu mungkin hanya ikut-ikutan seseorang saja. Misalnya artis. Kalau artis yang menjadi panutan berbuat jelek, menodai predikat dia sebagai artis dengan perilaku apa pun (narkoba, seks bebas, kriminal, dan perilaku negatif apapun yang mencuat ke media), orang yang menjadi pengikutnya bisa sama putus asanya,” terang Anggia.
Oleh karena itu, ke-alay-an sebaiknya dihindari jika tidak mau perilaku itu melekat selamanya sebagai kepribadian kita yang tentu saja tidak baik untuk dipertahankan. Apalagi jika Anda sudah kelewat dewasa dan bukan lagi remaja.

Jadilah orang yang asertif
Sebetulnya, pada ABG pun, alay tidak akan berkembang jika landasannya cukup baik. Karena secara tidak langsung, lingkungan yang baik akan memberi pengaruh perilaku yang positif pada anak. Perilaku seperti apa yang harus dibangun dalam keluarga? Yakni perilaku asertif.

“Jadilah orang yang asertif, yaitu orang yang mampu mengungkapkan apa yang dirasakannya secara jujur, memiliki kemampuan berterus terang dengan cara yang dapat diterima orang lain, tidak mengabaikan etika kesopanan dan selalu menjaga perasaan orang lain, tahu kapan harus berkata 'ya' dan 'tidak'. Tujuannya agar anak mampu menghargai diri sendiri. Prinsipnya, 'Apabila saya bahagia, orang lain pun berhak untuk bahagia',” jelas Anggia.

sumber:tb.com