Wednesday, November 30, 2011

Beda Pendapat di Depan Anak, Inilah cara Menyikapinya

Menikah menjadi penyatuan dua karakter manusia yang berbeda. Perbedaan akan terasa ketika pasangan suami istri sudah memiliki anak.
Masa pacaran menjadi kesempatan bagi pasangan kekasih untuk saling mengetahui seberapa sama dan berbeda keduanya. Titik beratnya tentu ada pada persamaan, sedangkan perbedaan sifatnya hanya melengkapi.

Dan ketika menikah, beda pendapat adalah hal yang biasa karena masing-masing punya latarbelakang berbeda. Namun, ada satu kunci yang menjadi jembatan bagi perbedaan tersebut.

“Kalau kita saling percaya dan menghormati sebagai pasangan, kita bisa lihat memang beda, tapi akan memandang itu sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat tidak perlu dibesar-besarkan,” kata psikolog Anna Surti Ariani Psi.

Ia menambahkan, perbedaan pendapat di antara pasangan suami istri ini akan mulai terasa ketika hadir buah hati. Dengan niat yang sama yang untuk mencurahkan kasih sayang, masing-masing pihak melakukannya dengan cara berbeda.

“Perlu disadari bahwa punya anak, ketika ingin memberikan kasih sayang, enggak harus dipaksakan dengan cara yang sama kan? Tapi dalam kasus tertentu, ada alternatif penyelesaian yang bisa dipilih,” ujar psikolog yang akrab disapa Nina ini.

Menurutnya, alternatif ini bisa diambil ketika perbedaan pendapat orangtua “terjebak” di tengah anak-anak. Kompromi yang dibuat dimaksudkan agar anak tidak dibuat bingung, harus memilih aturan dari ibu atau ayahnya. Atau dalam kasus tertentu, ketika anak bersikap oportunis, mematuhi aturan yang sesuai keinginannya dan orangtua seperti “diadudomba”.

Nina menjelaskan, alternatif penyelesaian pertama adalah, pihak manapun (suami/istri) yang lebih dulu atau telanjur membuat sebuah aturan, maka aturan itu yang diterapkan pada anak-anak.

“Setelah kita tidak berada di depan anak-anak, kita bisa pertanyakan mengapa pasangan kita punya aturan demikian untuk anak-anak,” jelasnya.

Kedua, mendiskusikannya langsung di hadapan anak, tentu dengan cara yang positif. Sebagai contoh, suami membolehkan anak-anak untuk makan es krim setelah makan malam. Kita sendiri melarang karena mereka sedang batuk.

“Kita berusaha menjelaskan ke anak-anak yang kemudian disepakati saat itu juga. Ayah bisa lantas merevisi aturannya, ‘Oh ya, ayah lupa kalau kamu sedang batuk. Lain kali saja ya makan es krimnya, kalau sudah sembuh,” paparnya.

Nina menandaskan, dua alternatif penyelesaian beda pendapat seperti di atas hanya sedikit cara yang bisa dilakukan orangtua. Masing-masing keluarga tentu memiliki solusi berbeda yang juga positif bagi semua pihak.